Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan tumbuhnya perekonomian, kebutuhan energi di masa depan terutama listrik, terus meningkat. Pada 2030 mendatang, kebutuhan listrik akan mencapai sekitar 33,3 triliun kWh. Jumlah tersebut setara dengan lebih dari dua kali lipat energi listrik yang diproduksi pada 2005.
Bagaimana dengan Indonesia? Data yang ada menyebutkan bahwa pada 2025, kebutuhan batu bara untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) diperkirakan mencapai 150 juta ton per tahun. Sementara itu, tingkat konsumsi listrik akan mencapai 49 gigawat pada tahun yang sama.
Produksi tenaga listrik, selanjutnya disitribusikan dan digunakan tidak lepas dari lingkungan hidup. Penggunaan bahan bakar untuk pembangkit listrik yang menghasilkan gas rumah kaca seperti karbondioksida tidak lagi dianjurkan. Karena, emisi gas rumah kaca telah menjadi kontributor peningkatan suhu bumi dan pemanasan global.
Menghasilkan tenaga listrik dengan membakar batu bara, dan gas alam dapat meningkatkan konsentrasi karbondioksida sehingga meningkatkan efek rumah kaca dan pemanasan global. Tenaga nuklir juga akan berpengaruh negatif pada lingkungan hidup. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat membutuhkan arus air dari bendungan untuk menggerakan turbinnya.
Banyak pihak yang mempromosikan penggunaan sumber daya lain untuk membangkitkan listrik seperti angin dan panas bumi. Sumber daya yang ‘hijau‘ akan memberikan dua keunggulan utama, termasuk tidak menimbulkan polusi udara dan jejak karbon.
Tenaga surya dan angin pun memiliki keterbatasan karena sumber daya ini tidak selalu tersedia. Dengan kata lain matahari tidak selalu bersinar dan angin tidak berhembus setiap saat. Kelemahan lain adalah biasanya kedua sumber daya ini sulit didapat di daerah-daerah yang justru membutuhkan tenaga listrik.
Integrasi pembangkit listrik dan tenaga ‘hijau‘ ke dalam power supply, serta meningkatkan penghematan energi dan mengurangi puncak kebutuhan listrik, adalah alasan mengapa pemerintah, perusahaan teknologi, aktivis lingkungan hidup dan pendukung penghematan energi semakin memusatkan perhatian mereka pada upaya memodernisasikan grid-grid yang mendistribusikan listrik dari pembangkit listrik ke pelanggan.
Agar kita menggunakan lebih banyak sumber energi yang ramah lingkungan dan mendorong transmisi, pendistribusian dan penggunaan listrik secara lebih canggih, grid-grid listrik harus berubah menjadi ‘lebih pintar’. Oleh karena itu, tantangan yang sebenarnya adalah membawa grid listrik dari abad ke-20 ke abad ke-21.
Kebutuhan Energi Di Masa Depan
Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan tumbuhnya perekonomian, kebutuhan energi di masa depan terutama listrik, terus meningkat. Pada 2030 mendatang, kebutuhan listrik akan mencapai sekitar 33,3 triliun kWh. Jumlah tersebut setara dengan lebih dari dua kali lipat energi listrik yang diproduksi pada 2005.
Bagaimana dengan Indonesia? Data yang ada menyebutkan bahwa pada 2025, kebutuhan batu bara untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) diperkirakan mencapai 150 juta ton per tahun. Sementara itu, tingkat konsumsi listrik akan mencapai 49 gigawat pada tahun yang sama.
Produksi tenaga listrik, selanjutnya disitribusikan dan digunakan tidak lepas dari lingkungan hidup. Penggunaan bahan bakar untuk pembangkit listrik yang menghasilkan gas rumah kaca seperti karbondioksida tidak lagi dianjurkan. Karena, emisi gas rumah kaca telah menjadi kontributor peningkatan suhu bumi dan pemanasan global.
Menghasilkan tenaga listrik dengan membakar batu bara, dan gas alam dapat meningkatkan konsentrasi karbondioksida sehingga meningkatkan efek rumah kaca dan pemanasan global. Tenaga nuklir juga akan berpengaruh negatif pada lingkungan hidup. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat membutuhkan arus air dari bendungan untuk menggerakan turbinnya.
Banyak pihak yang mempromosikan penggunaan sumber daya lain untuk membangkitkan listrik seperti angin dan panas bumi. Sumber daya yang ‘hijau‘ akan memberikan dua keunggulan utama, termasuk tidak menimbulkan polusi udara dan jejak karbon.
Tenaga surya dan angin pun memiliki keterbatasan karena sumber daya ini tidak selalu tersedia. Dengan kata lain matahari tidak selalu bersinar dan angin tidak berhembus setiap saat. Kelemahan lain adalah biasanya kedua sumber daya ini sulit didapat di daerah-daerah yang justru membutuhkan tenaga listrik.
Integrasi pembangkit listrik dan tenaga ‘hijau‘ ke dalam power supply, serta meningkatkan penghematan energi dan mengurangi puncak kebutuhan listrik, adalah alasan mengapa pemerintah, perusahaan teknologi, aktivis lingkungan hidup dan pendukung penghematan energi semakin memusatkan perhatian mereka pada upaya memodernisasikan grid-grid yang mendistribusikan listrik dari pembangkit listrik ke pelanggan.
Agar kita menggunakan lebih banyak sumber energi yang ramah lingkungan dan mendorong transmisi, pendistribusian dan penggunaan listrik secara lebih canggih, grid-grid listrik harus berubah menjadi ‘lebih pintar’. Oleh karena itu, tantangan yang sebenarnya adalah membawa grid listrik dari abad ke-20 ke abad ke-21.
Apabila ingin mengetahui informasi selengkapnya anda bisa menghadiri seminar mengenai Energy Saving & Sustainable Energy
(cha)
About Tridinamika
Related posts
4 Tips Menghemat Air di Rumah, Toko, ...
21/05/2018
Pemanfaatan Panel Surya dalam Kehidupan Sehari-hari
15/05/2018
Jangan Sepelekan! 5 Hal ini Berpengaruh Penting ...
26/02/2018
Kelebihan dan Kekurangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin
15/01/2018